Bergerak Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis (TBC) 2030
Resti Hardianti Lestari1, Indah Puspita Sari1, Delly Chipta Lestari2
1 Peserta didik Program Studi Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik FKUI
2 Staf pendidik Departemen Mikrobiologi FKUI-RSCM
disiniadasemua.com, jumat 24 maret 2023
Penemuan bakteri Mycobacterium tuberculosis-penyebab penyakit tuberkulosis (TBC) pada 24 Maret tahun 1882 oleh Robert Koch menjadi salah satu sejarah penting dalam bidang mikrobiologi. Sejak saat itu, tanggal 24 Maret diperingati sebagai “Hari Tuberkulosis Sedunia (World Tuberculosis Day)”. Meskipun berumur lebih dari satu abad, sayangnya TBC masih menjadi salah satu penyakit infeksi yang mematikan di dunia. Perlunya memperingati “Hari Tuberkulosis Sedunia” adalah dalam rangka meningkatkan kepedulian masyarakat tentang pencegahan, pengobatan, serta dampak TBC dalam berbagai aspek, termasuk aspek ekonomi dan sosial. Dan yang tidak kalah penting adalah untuk memperkuat upaya global dalam memberantas TBC.
Seseorang dapat mengalami infeksi TBC karena menghirup bakteri Mycobacterium tuberculosis yang terdapat di udara. Penderita TBC mengeluarkan bakteri dalam jumlah banyak ke udara saat batuk. Bakteri ini diketahui dapat bertahan hidup pada waktu yang lama di udara. Oleh karena itu, penting sekali menerapkan etika batuk yaitu menggunakan masker saat sedang batuk, menutup mulut saat batuk dengan lengan tangan atas, atau menggunakan tisu kemudian membuang bekas tisu ke tempat sampah serta mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Dengan menerapkan etika batuk secara kontinyu, diharapkan terjadi pencegahan penularan TBC dari penderita ke orang sekitar.
(Sumber: Booklet Covid 19: Kenali Gejalanya dan Cegah Penularannya.
Program Studi Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik FKUI. 2022)
Beberapa gejala yang dapat menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi TBC yaitu batuk yang berlangsung selama lebih dari dua minggu, batuk berdahak (kadang-kadang disertai darah), demam (terutama di malam hari), berkeringat di malam hari meskipun tidak melakukan aktivitas fisik berat dan cuaca tidak panas, kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, kehilangan nafsu makan, lemas dan lelah, serta kadang disertai keluhan nyeri dada atau sesak napas. Namun, dapat pula TBC tidak menunjukkan gejala spesifik tertentu. Infeksi terjadi di tubuh penderita selama beberapa waktu tanpa menyebabkan keluhan apapun sampai suatu saat jatuh dalam kondisi membutuhkan pelayanan medis. Banyaknya penderita TBC tanpa gejala merupakan tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan dan pemerintah untuk mendeteksi angka penderita TBC yang sesuai dengan kejadian sebenarnya. Perlu juga untuk diketahui bahwa TBC bukan hanya menyerang organ paru-paru, namun dapat juga menyerang organ lain seperti kelenjar, lapisan otak, kulit, dan lain sebagainya, yang dikenal dengan istilah TBC ekstra paru.
Jika seseorang mengalami gejala-gejala seperti disebutkan sebelumnya dan/atau berkontak erat dengan orang yang didiagnosis menderita TBC misalnya tinggal serumah dengan orang yang positif TBC, maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan diagnosis infeksi TBC. Segeralah memeriksakan diri ke layanan kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan pemeriksaan penunjang, meliputi pemeriksaan dahak, darah, dan rontgen dada untuk memastikan diagnosis TBC. Jika seseorang telah didiagnosis dengan TBC, sangat penting untuk memulai pengobatan segera untuk mencegah penyebaran penyakit dan menghindari komplikasi yang lebih serius. TBC paru-paru membutuhkan waktu pengobatan minimal 6 minimal, bahkan lebih lama untuk kasus-kasus tertentu, seperti TBC paru multiresisten (kebal obat) atau TBC ekstra paru. Pengobatan TBC harus dilakukan secara tuntas untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat, mencegah munculnya bakteri M. tuberculosis yang kebal obat, dan mencegah penyebaran di masyarakat. Tingginya kasus putus obat juga menjadi satu masalah utama dalam penanganan kasus TBC di Indonesia.
Diketahui Indonesia saat ini berada pada posisi kedua dengan jumlah penderita TBC terbanyak di dunia, setelah India. Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan RI pada Februari 2023 diketahui terdapat 969.000 orang dengan TBC di Indonesia. Angka ini naik 17%, yaitu sebanyak 824.000 kasus berdasarkan Global TB Report 2021. Laju insiden (incident rate) TBC di Indonesia yaitu sekitar 354 per 100.000 penduduk. Menteri Kesehatan, Budi Sadikin, dalam sambutannya secara virtual di acara Indonesia Tuberculosis International Meeting (INA TIME) 2022 ke-4 di Bali menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencapai eliminasi TBC pada 2030 dengan target laju insiden 65 per 100.000 penduduk. Tentu untuk mencapai komitmen tersebut diperlukan upaya dan peran serta komunitas, pemangku kepentingan, dan multisektor lainnya dalam penanggulangan TBC.
Salah satu upaya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam penanganan kasus TBC adalah menerapkan kampanye “TOSS TBC” (Temukan Tuberkulosis, Obati Sampai Sembuh TBC di Indonesia). TOSS TBC merupakan suatu gerakan atau kampanye untuk menemukan, mendiagnosis, mengobati dan menyembuhkan pasien TBC, serta menghentikan penularan TBC di masyarakat. Melalui lamannya tbindonesia.or.id pemerintah mengajak peran aktif masyarakat baik tenaga kesehatan maupun umum untuk mengatasi masalah kesehatan TBC bersama melalui pustaka TBC yang berisi informasi dasar seputar TBC, termasuk sejarah serta infografis untuk keperluan edukasinya. Pada halaman muka terdapat data tentang penderita TBC secara total, TBC dengan resistansi obat, angka kematian serta persentase keberhasilan pengobatan di Indonesia. Data ini diperbaharui secara berkala. Bagi penderita maupun keluarganya dapat memanfaatkan “Teman Tibi” sebagai wadah untuk berkonsultasi dengan dokter terkait TBC. Tak lupa juga disediakan halaman tentang berita terbaru dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Kemenkes yang berhubungan dengan tercapainya target TOSS TBC yaitu 90% penurunan insiden TBC dan 95% penurunan kematian TBC pada tahun 2030. Hal ini selaras dengan target global Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO) yaitu mengurangi kasus TBC sebesar 90% dan kematian akibat TBC sebesar 95% pada tahun 2035.
Langkah-langkah yang diupayakan dari program TOSS TBC mencakup mencari dan menemukan gejala di masyarakat umum, menatalaksana TBC dengan tepat sampai melakukan pemantauan pengobatan TBC hingga penderita dinyatakan sembuh. Program TOSS TBC sudah diinisiasi sejak tahun 2006 dimulai dengan kampanye untuk menurunkan kasus TBC di Indonesia secara intensif, aktif, dan masif dengan memanfaatkan TCM (Tes Cepat Molekuler) dan pemeriksaan mikroskopis sebagai tatalaksana pelengkap tegaknya diagnosis TBC. Selain itu, juga dilakukan penguatan kemitraan baik dari pemerintah maupun swasta berupa regulasi program, pemusatan kegiatan pada wilayah kabupaten/kota dan penerapan short-term regiment atau pengobatan jangka pendek untuk pasien TBC resistansi obat.
Dengan segala upaya yang telah dilakukan pemerintah dan demi tercapainya target TOSS TBC pada tahun 2030 perlu dilakukan usaha maksimal serta evaluasi dari berbagai kegiatan yang telah pemerintah dilakukan. Pencapaian saat ini masih jauh dari target dikarenakan beberapa penyebab yaitu:
1. Di beberapa wilayah, khususnya di daerah terpencil dan masyarakat miskin, akses dan ketersediaan pemeriksaan dan pengobatan TBC masih terbatas. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat deteksi kasus TBC dan efektivitas pengobatan.
2. Meskipun upaya pencegahan dan pengobatan TBC terus dilakukan, penyebaran TBC di beberapa wilayah masih tinggi. Penyakit ini dapat menyebar dengan mudah melalui udara dan juga dapat menyerang individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.
3. Stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terkena TBC masih menjadi permasalahan. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat akan bahaya TBC dan kemudahan dalam mengakses pemeriksaan dan pengobatan.
4. Beberapa kasus TBC resisten obat, di mana bakteri TBC menjadi resisten atau kebal terhadap obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan TBC, menjadi permasalahan serius dalam pengobatan TBC. Hal ini dapat mempengaruhi efektivitas pengobatan dan memperpanjang durasi/lama pengobatan.
5. Pengobatan TBC memerlukan sumber daya yang cukup, seperti obat-obatan, tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan yang memadai. Namun, keterbatasan sumber daya dapat mempengaruhi efektivitas pencegahan dan pengobatan TBC.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas, diperlukan upaya kolaboratif antara berbagai pihak, seperti pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, dalam memperkuat sistem kesehatan dan meningkatkan akses dan ketersediaan pemeriksaan dan pengobatan TBC. Selain itu, peningkatan kesadaran dan edukasi masyarakat tentang bahaya TBC dan cara pencegahan juga perlu dilakukan. Terakhir, inovasi dalam pengembangan vaksin dan obat TBC juga diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pengobatan dan mengatasi masalah resistensi obat.
Dengan adanya peringatan “Hari Tuberkulosis Sedunia” ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk kampanye untuk melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai gejala, penyebaran, dan penanganan TBC kepada masyarakat. Momen ini juga dapat dijadikan sebagai ajang penggalangan dana untuk mendukung program pencegahan dan pengobatan TBC, serta mengadakan konferensi dan seminar untuk membahas strategi dan inovasi dalam penanggulangan TBC. Para ahli dan pengambil kebijakan kesehatan global menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat sipil, swasta, dan pemerintah dalam upaya memberantas TBC. Keterlibatan masyarakat sipil meliputi dukungan dan partisipasi aktif dalam program-program pencegahan dan pengobatan TBC, sementara keterlibatan sektor swasta meliputi pengembangan dan distribusi vaksin dan obat TBC yang lebih terjangkau dan efektif.
Apakah kita mampu menuju eliminasi TBC 2030? Jawabannya tergantung bagaimana masing-masing kita berperan aktif untuk memerangi penyakit tersebut.